MAKALAH
PERADABAN
ISLAM RASULULLAH PERIODE MADINAH ( 622-632 M )
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Dr. Badaruddin, M.Ag
Dosen Pengampu : Dr. Badaruddin, M.Ag
Disusun
oleh:
Abdul
Aziz Chabibur R G000130036
Muhammad
Iqbal Pria Nugraha G000130126
TARBIYAH
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A
Latar Belakang Masalah
Sejak
kedatangan Nabi Muhammad SAW ke Yatsrib, maka seketika itu juga berubahlah
namanya kota Yatsrib menjadi Madinnatun Nabawi artinya kota nabi, selanjutnya
disebut Madinah. Sejak menetap di Madinah Rasulullah SAW mulai mengatur
siasat dan membentuk masyarakat Islam yang bebas dari ancaman dan tekanan serta
intimidasi. Jadi hijrahnya Rasulullah SAW itu sendiri merupakan langkah awal
dari terbentuknya Daulah Islamiyah yang pertama di muka bumi pada saat itu. Karena
itu peristiwa hijrah tidaklah terwujud begitu saja, namun ada beberapa pra
kondisi seperti adanya Baiat Aqabah yang Pertama dan kedua, kedua baiat
ini merupakan batu-batu pertama bagi bangunan Negara Islam, Kehadiran
rasulullah SAW ke dalam masyarakat Madianah yang majemuk amat menarik untuk
dibahas[1].
Kemajemukan
komunitas Madinah membuat rasul melakukan negoisasi dan konsolidasi
melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan “piagam Madinah”. Berawal dari
Piagam Madinah inilah sesungguhnya merupakan rangkaian penting dari proses
berdirinya Negara Madinah. Setelah proses Ba’iat dan Piagam madinah, Nabi
Muhammmad SAW dipandang bukan saja sebagai pemimpin ruhani tetapi juga sebagai
kepala Negara. Rasul sebagai kepala Negara, lantas mengangkat Kepala
Pemerintahan setempat pada tiap-tiap negeri yang dikuasainya atau masuk Islam
dengan cara damai.
Bila
ditinjau dari persoalan ajaran Islam, periode Madinah merupakan kelanjutan dari
periode Mekkah. pada periode Mekkah, ayat – ayat tentang hukum belum banyak
diturunkan, sementara pada periode Madinah, kita mendapati ayat hukum mulai
turun melengkapi ayat yang telah ada sebelumnya. Ini dipahami mengingat hukum
bisa dilaksanakan bila komunitas telah terbentuk, bukan hanya ayat-ayat hukum
saja yang berangsur-angsur sempurna, juga ayat lain misalnya tentang etika,
tauhid dan seluruh elemen ajaran Islam berangsur-angsur mendekati titik
kesempurnaan dan mencapai puncaknya dengan diturunkannya Surat Al Maidah ayat
3.
Satu
hal lain yang perlu digaris bawahi bahwa Islam pada periode Madinah adalah
Islam yang terus mencari tata system pemerintahan yang cocok, hingga nabi
wafat, model politik yang baku tidak pernah diformulasikan oleh Nabi SAW, praktek
kehidupan berpolitik Nabi SAW sesungguhnya bukanlah sebuah pelaksanaan
terhadap format tata pemerintahan yang sudah jadi dan sempurna, tapi merupakan
proses percobaan yang terus menerus[2].
Dan dari sinilah penulis akan mencoba
memaparkan beberapa pokok pembahasan diantaranya yaitu: 1. Mengapa Nabi hijrah ke
Madinah?, 2. Bagaimana dasar berpolitik Nabi di Madinah?, 3. Bagaimana isi
piagam Madinah? 4. Bagaimana tantangan dan keberhasilan Piagam Madinah?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Arti
Hijrah Nabi ke Madinah
Sejak
diangkatnya Muhammad sebagai Nabi melalui proses turunnya wahyu sampai wafatnya
Nabi Muhammad SAW. Ada dua periode yang dilalui Nabi, periode Makkah yaitu
sejak turunnya wahyu pertama sampai dengan hijrah atau berpindahnya beliau bersama
para pengikutnya ke Madinah, dan periode Madinah, yaitu sejak peristiwa hijrah
sampai dengan wafatnya Nabi. Pada periode Makkah Nabi menyampaikan misi
kenabian memperkenalkan ajaran Islam yang mengajarkjan ajaran tauhid. Misi Nabi
ini mendapat tentangan keras dari penduduk Makkah yang dipelopori
tokoh-tokoh suku Quarais, mereka bukan saja tidak menerima ajaran Tauhid yang
ditawarkan Nabi, mereka menentang secara keras bahkan memberikan ancaman fisik
kepada nabi dan orang-orang yang mengikutinya. Kemudian dengan petunjuk dari
Allah dan atas pertimbangan situasi social yang sangat tidak mendukung misi
kenabiannya di makkah serta dengan mempertimbangakn kondisi yang lebih kondusip
di Madinah maka Nabi Muhammad bersama pengikutnya melaksanakan Hijrah[3]. Yaitu
sebuah proses migrasi dari kota Makkah ke kota Madinah[4].
Sejak
itu dimulailah babak baru dalam masa kenabian. Berbeda dengan apa yang dialami
pada saat di kota Makkah, di Madinah Nabi dan para pengikutnya mendapat
sambutan yang baik oleh penduduk Madinah. Secara social masyarakat Madinah
ketika itu terdiri dari beberapa kelompok, kelompok-kelompok yang tergolong
besar dan berpengaruh adalah kelompok Yahudi dan Arab. Kelompok Arab sendiri
terdiri dari suku “Aus dan Khozroj. Masing-masing kelompok ini dalam rentang
waktu yang cukup panjang selalu terlibat dalam pertikaian, mereka saling
bertikai untuk memperebutkan kepemimpinan di antara mereka. Karena
masing-masing mereka tidak ada yang mau mengalah, maka akibatnya Madinah masa
itu menjadi kosong kepemimpinan. Di sisi lain mereka sudah berada dalam titik
jenuh selalu bertengkar, mereka sudah merindukan suasana damai, akan tetapi
mereka tidak mempunyai figure yang dapat mempersatukan mereka. Beberapa tokoh
diantara mereka akhirnya menemukan figure itu ada pada pribadi Nabi Muhammad
SAW. Karena itulah kehadiran nabi dan para pengikutnya di Madinah mendapat
sambutan hangat bahkan Nabi dinobatkan sebagai pemimpin diantara mereka.
Dengan
diterima dan diangkatnya Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin penduduk kota itu.
Babak baru dalam sejarahpun dimulai berbeda dengan periode Makkah,
pada periode Madinah Islam merupakan kekuatan politik. Ajaran Islam berkenaan
dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinah. Nabi Muhammad SAW
mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala agama, tetapi juga sebagai
kepala Negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi terkumpul dua kekuasaan,
kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi, kedudukanya sebagai Rasul
secara otomatis merupakan kepala negara[5].
Sisi
menarik dari system politik yang dibangun oleh Nabi adalah bahwa dalam Negara
madinah itu dibangun dengan kondisi social penduduknya heterogen. . Adapun peta
demografis Madinah pada saat itu terdiri dari :
1. Kaum muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Ansor.
2. Anggota suku Aus da Khazraj yang masih berada pada tingkat
nominal muslim, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi
SAW.
3. Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menganut paganism
(paganisme adalah paham dimana agama belum datang, dan paganisme cenderung
menganut politheisme).
4. Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam 3 suku utama
yaitu bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraidhah.
Etnis
Arab dengan beraneka suku, dan juga berbagai jenis keyakinan, Yahudi dengan
beberapa sektenya, Nasrani serta masyarakat suku paganism yang belum mempunyai
agama, serta Islam sendiri. Keanekaragaman ini dapat dipersatukan dalam suatu
sitem politik yang dibangun oleh Nabi. Pada masa kenabian tidak ada lagi perang
antar suku, tidak juga ada superioritas kelompok tertentu atas yang lain. Semua
dapat hidup damai, saling menghormati satu dengan lain. Hasilnya adalah Madinah
yang awalnya adalah cikal bakal sebuah Negara, akhirnya menjelma menjadi sebuah
kekuatan Negara baru. Sebuah Negara dengan konsep kebersamaan hak warga Negara,
tidak membedakan ras, suku dan agama.
B. Dasar
Berpolitik Negeri Madinah
Realita
politik Madinah merupakan rangkaian strategis yang berimplikasi pada masyarakat
Islam yang menerima perubahan-perubahan positif diantaranya: Pertama, Ikatan
daerah atau wilayah, Dari sini Madinah merupakan tempat tinggal bagi ummat
Islam. Kedua, jiwa kemasyarakatan, artinya dengan pemikiran dari ummat Islam
Madinah dapat dipersatukan untuk tujuan yang sama. Ketiga, dominasi politik,
hal ini terjadi karena keterlibatan ummat Islam secara langsung berperan dalam
urusan-urusan politik.
Dalam
rangka memperkokoh masyarakat dan Negara baru itu, Nabi SAW segera
meletakan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, dasar-dasar itu antara
lain[6]: Dasar
pertama adalah sarana terpenting untuk mewujudkan rasa persaudaraan, yaitu
tempat pertemuan. Sarana yang dimaksud adalah masjid, tempat untuk melakukan
ibadah kepada Allah SWT secara berjamaah, yang juga dapat digunakan sebagai
pusat kegiatan untuk berbagai hal, seperti belajar-mengajar, mengadili perkara -
perkara yang muncul dalam masyarakat, musyawarah, dan transaksi
dagang. Nabi SAW merencanakan pembangunan masjid itu dan langsung ikut
membangun bersama-sama kaum muslimin. Masjid yang dibangun ini kemudian dikenal
sebagai Masjid Nabawi. Ukurannya cukup besar, dibangun di atas sebidang tanah dekat
rumah Abu Ayyub al-Anshari. Dindingnya terbuat dari tanah liat, sedangkan
atapnya dari daun-daun dan pelepah kurma. Di dekat masjid itu dibangun pula
tempat tinggal Nabi SAW dan keluarganya.
Dasar
kedua yang ditegakkannya adalah Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan di dalam
Islam), yaitu antara kaum Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari Mekah ke
Madinah) dan Anshar (penduduk Madinah yang masuk Islam dan ikut membantu kaum
Muhajirin). Nabi SAW mempersaudarakan individu-individu dari golongan Muhajirin
dengan individu-individu dari golongan Anshar. Misalnya, Nabi SAW
mempersaudarakan Abu Bakar dengan Kharijah bin Zaid, Ja'far bin Abi Thalib
dengan Mu'az bin Jabal. Dengan demikian diharapkan masing-masing orang akan
terikat dalam suatu persaudaraan dan kekeluargaan. Dengan persaudaraan yang
semacam ini pula, Rasulullah telah menciptakan suatu persaudaraan baru, yaitu
persaudaraan berdasarkan agama, menggantikan persaudaraan berdasarkan
keturunan.
Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang yahudi sebagai komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan, kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar[7].
Dasar ketiga adalah hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, disamping orang-orang Arab Islam juga masih terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka. Agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, Nabi Muhammad SAW mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang yahudi sebagai komunitas dikeluarkan. Setiap golongan masyarakat memiliki hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan, kemerdekaan beragama dijamin, dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri itu dari serangan luar[7].
C. Piagam
Madinah
Nabi
SAW telah berhasil mewujudkan piagam politik yang merupakan langkah
strategis. Karena meletakkan piagam sebagai persatuan hidup bagi seluruh
penduduk Madinah dengan tidak membedakan keturunan, bangsa dan agama. Piagam
ini merupakan naskah politik yang kedudukannya sebagai dustur atau konstitusi
Madinah. Piagam ini mempunyai tiga bagian dan empat puluh tujuh poin. Tiga
bagian tersebut, pertama, khusus berkaitan dengan orang-orang Islam Muhajirin
dan Anshor. Kedua, khusus yang berkaiatan dengan orang-orang Yahudi. Ketiga,
meliputi seluruh penduduk Madinah[8].
Menurut
Ahmad Sukardja dalam karyanya “Piagam Madinah dan Undang-undang dasar 1945”
menyatakan bahwa Piagam Madinah ini adalah konstitusi Negara Madinah yang
dibentuk pada masa awal klasik Islam, tepatnya pada tahun 622M sebagai
konstitusi yang dibuat oleh seorang Negarawan yang berkedudukan sebagai Rasul
dengan dibantu oleh para sahabatnya.
Adapun isi dari
konstitusi Madinah atau piagam madinah adalah:
1. Setiap suku dan kelompok akan mengurus urusannya sendiri dan
menyelesaikan sendiri perselisihannya menurut hukum dan kebiasaannya sendiri.
2. Tidak ada pihak Yahudi atau muslim yang boleh melakukan persetujuan
kapanpun jugadengan salah satu pihak atau kelompok yang tinggal di luar Madinah.
3. Kalau terjadi pertempuran diluar batas-batas Madinah, tidak ada penduduk
Madinah yang dapat dipaksa untuk bertempur di pihak manapun.
4. Orang Yahudi harus memberikan sumbangan biaya kalau mereka bertempur
bahu-membahu dengan orang muslim melawan musuh bersama
5. Setiap suku ataukelompok bebas menjalankan agamanya. Orang Yahudi
menjalankan agamanya dan orang Islam menjalankan agamanya.
6. Kalau ada serangan di pihak luar,masing-masing pihak akan membantu pihak
lain. Jika salah satu pihak terlibat pertempuran, pihak lain akan memberikan
bantuannya. Dan jika salah satu pihak membuat perdamaian, pihak yang lainnya
juaga membuat perdamaian dengannya. Tidak ada satu pihak pun juga yang akan
memberikan perlindungan pada orang Quraisy di Mekah.
7. Kota Mekah adalah kota suci dan tidak boleh dilanggar oleh semua pihak yang
menandatangani perjanjian tersebut.
8. Dalam semua perselisihan diantara pihak-pihak yang menandatangani perjanjian
ini di Madinah, Nabi Muhammad akan bertindak sebagai wasit
Karena
Piagam Madinah ini bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama antara sesama
ummat dan masyarakat Madinah yang majmuk. Dengan demikian berdasarkan piagam
Madinah yang telah ditetapkan dan di sepakati bersama oleh seluruh elemen
masyarakat Madinah yang majemuk, maka Madinah secara otomatis menjadi Negara
(City State) yang berdaulat, dimana Nabi sebagai pendirinya dan Nabi dipandang
bukan saja sebagi Nabi dan Rasul tetapi pada saat yang sama Nabi dipandang
sebagai kepala Negara[9]. Dalam
konteks ini Munawir Sadjali memberikan tanggapan bahwa banyak diantara pemimpin
dan pakar ilmu politik Islam beranggapan bahwa Piagam Madinah adalah konstitusi
atau undang-undang dasar bagi Negara Islam yang pertama dan didirikan oleh Nabi
di Madinah.
D. Tantangan
dan Keberhasilan Piagam Madinah
1. Ukhuwah Islamiyah antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
3. Mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan
pribadi.
4. Keadialan harus tetap ditegakkan walau kepada orang non
Muslim.
5. Waspada dan hati-hati terhadap orang-orang Non Islam karena
bagaimanapun mereka tidak rela kalau Islam maju.
6. Kegigihan Rasulullah dalam berdakwah menyebarkan Islam.
7. Keberhasilan Rasulullah di Madinah ini juga didukung dengan
akhlaknya yang mulia dan kekuatan pasukannya.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN – SARAN
A. Kesimpulan
1. Ada 3 dasar utama yang diletakkan Rasulullah SAW dalam
membangun Pemerintahan Islam di Madinah yang penduduknya pluralis, yaitu
pembangunan masjid,ukhuwah Islamiyah, dan Menjalin hubungan persahabatan dengan
dalam sebuah ikatan perjanjian dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama
Islam.
2. Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan, bukan saja sebagai kepala
agama, tetapi juga sebagai kepala Negara. Dengan kata lain, dalam diri nabi
terkumpul dua kekuasaan, kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi, kedudukanya
sebagai Rasul secara otomatis merupakan kepala negara.
3. Dalam Pemerintahan Islam di Madinah di bawah kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW telah banyak perubahan positif yang dialami baik dalam bidang
politik, pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan.
4. Tujuan perjuangan nabi yang jelas menuju kearah menegakkan
keadilan dan kebenaran serta menghancurkan yang batil tanpa pamrih kepada
harta, kekuasaan, dan kemuliaan duniawi.
5. Adanya prinsip persamaan yang ditegakkan Rasulullah
SAW dalam bergaul tidak pernah mebedakan satu dengan yang lain, bersikap
sama terhadap semua orang, baik dengan yang kuat maupun yang lemah, yang kaya
maupun yang miskin, baik terhadap musuh maupun sahabat. Beliau tidak pernah
menghardik yang bersifat menghina dan bermuka masam kepada siapapun.
6. Adanya prinsip kebersamaan. Rasulullah Saw dalam
menggerakkan orang berbuat tidak hanya sekedar memberikan perintah, namun
beliau sendiri terjun memberikan contoh. Beliau sendiri ikut terjun
menyingsingkan lengan baju dan kaki jubahnya dalam membangun masjid Nabawi di
Madinah, dan beliau selalu ikut terjun langsung dalam setiap pembangunan maupun
medan tempur memimpin pasukan.
7. Rasulullah SAW merupakan contoh pemimpin yang kharismatik
dan Demokratis sehingga banyak nilai – nilai keteladanan yang dapat
diambil dari pola kepemimpinan beliau.
B. Saran
1. Agar ada upaya lebih dalam untuk mengkaji sosok Rasul
Muhammad Saw dan perjuangan dakwah Islamiyah, dalam membangun pluralisme di
Madinah, terutama pada hal-hal yang belum bisa penulis kaji.
2. Diupayakan agar menelaah nilai-nilai pluralisme yang
berkembang di Indonesia dalam konteks dakwah dan pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014).
Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Litera
Antarnusa, 1990. Cet. 12).
Hassan, Hasan Ibrahim, Sejarah Dan Kebudayaan Islam, (Yogjakarta:
Penerbit Kota Kembang, 1989).
Muhaimin,
Dr, MA, dkk., Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta Prenada,
Media, 2007).
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,
Jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1985, cetakan kelima).
Nadirsyah
Hosen, http:/media .isnet/Nadirsyah/MM.
di akses 9 September 2015
[3] Hijrah adalah perpindahan Nabi Muhammad SAW bersama sebagian
pengikutnya dari makkah
[5] Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai
aspeknya, Jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1985, cetakan kelima), hlm. 101
[8] Hasan
Ibrahim Hassan, Sejarah Dan Kebudayaan
Islam, (Yogjakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989), hlm. 28-29
[9] Harun
Nasution, Islam ditinjau dari berbagai
aspeknya, Jilid 1, (Jakarta: UI Press, 1985, cetakan kelima), hlm. 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar